UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 37 TAHUN 1999
TENTANG
HUBUNGAN LUAR NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR 37 TAHUN 1999
TENTANG
HUBUNGAN LUAR NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat,pelaksanaan hubungan luar negeri didasarkan pada asas kesamaan derajat, saling menghormati, saling menguntungkan, dan saling tidak mencampuri urusan dalam negerimasing-masing, seperti yang tersirat di dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, salah satu tujuan Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah ikut melaksanakan ketertiban dunia yangberdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
c. bahwa untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud pada pertimbangan huruf b, Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia selama ini telah melaksanakan hubungan luar negeri dengan berbagai negara dan organisasi regional maupun internasional;
d. bahwa pelaksanaan kegiatan hubungan luar negeri, baik regional maupun internasional, melalui forum bilateral atau multilateral, diabdikan pada kepentingan nasional berdasarkan prinsip politik luar negeri yang bebas aktif;
e. bahwa dengan makin meningkatnya hubungan luar negeri dan agar prinsip politik luar negeri sebagaimana dimaksud pada pertimbangan huruf d dapat tetap terjaga, maka penyelenggaraan hubungan luar negeri perlu diatur secara menyeluruh dan terpadu dalam suatu undang-undang;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dalam huruf a, b, c, d, dan e perlu dibentuk Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 13, dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik beserta Protokol Opsionalnya mengenai Hal Memperoleh Kewarganegaraan (Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocol to The Vienna Convention on Diplomatic Relations Concerning Acquisition of Nationality), 1961 dan Pengesahan Konvensi mengenai Hubungan Konsuler beserta Protokol Opsionalnya mengenai Hal Memperoleh Kewarganegaraan (Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocol to The Vienna Convention on Consular Relations Concerning Acquisition of Nationality), 1963 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 2; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3211);
3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Misi
Khusus (Convention on Special Missions), New York, 1969 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1982 Nomor 3; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3212).
Dengan Persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
1Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Hubungan Luar Negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh Pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara Indonesia.
2. Politik Luar Negeri adalah kebijakan, sikap, dan langkah Pemerintah Republik Indonesia yang diambil dalam melakukan hubungan dengan negara lain, organisasi internasional, dan subyek hukum internasional lainnya dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional.
3. Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apa pun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang
hukum publik.
4. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang hubungan luar negeri dan politik luar negeri.
5. Organisasi Internasional adalah organisasi antarpemerintah.
Pasal 2
Hubungan Luar Negeri dan Politik Luar Negeri didasarkan pada Pancasila, Undang-UndangDasar 1945, dan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Pasal 3
Politik Luar Negeri menganut prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional.
Pasal 4
Politik Luar Negeri dilaksanakan melalui diplomasi yang kreatif, aktif, dan antisipatif, tidaksekedar rutin dan reaktif, teguh dalam prinsip dan pendirian, serta rasional dan luwes dalam pendekatan.
BAB II
PENYELENGGARAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI DAN PELAKSANAAN POLITIK LUAR
NEGERI
Pasal 5
(1) Hubungan Luar Negeri diselenggarakan sesuai dengan Politik Luar Negeri, peraturan perundang-undangan nasional dan hukum serta kebiasaan internasional.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku bagi semua penyelenggara Hubungan Luar Negeri, baik pemerintah maupun non-pemerintah.
Pasal 6
(1) Kewenangan penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan pelaksanaan Politik Luar Negeri Pemerintah Republik Indonesia berada di tangan Presiden. Sedangkan dalam hal menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain diperlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Presiden dapat melimpahkan kewenangan penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan pelaksanaan Politik Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Menteri.
(3) Menteri dapat mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu demi dipatuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Pasal 7
(1) Presiden dapat menunjuk pejabat negara selain Menteri Luar Negeri, pejabat pemerintah, atau orang lain untuk menyelenggarakan Hubungan Luar Negeri di bidang tertentu.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat negara selain Menteri Luar Negeri, pejabat pemerintah, atau orang lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri.
Pasal 8
(1) Menteri, atas usul pimpinan departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen, dapat mengangkat pejabat dari departemen atau lembaga yang bersangkutan untuk ditempatkan pada Perwakilan Republik Indonesia guna melaksanakan tugas-tugas yang menjadi bidang wewenang departemen atau lembaga tersebut.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) secara operasional dan administratif merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perwakilan Republik Indonesia serta tunduk pada peraturan-peraturan tentang tata kerja Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Pasal 9
(1) Pembukaan dan pemutusan hubungan diplomatik atau konsuler dengan negara lain serta masuk ke dalam atau keluar dari keanggotaan organisasi internasional ditetapkan oleh Presiden dengan memperhatikan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Pembukaan dan penutupan kantor perwakilan diplomatik atau konsuler di negara lain atau kantor perwakilan pada organisasi internasional ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 10
Pengiriman pasukan atau misi pemeliharaan perdamaian ditetapkan oleh Presiden dengan memperhatikan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 11
(1) Dalam usaha mengembangkan Hubungan Luar Negeri dapat didirikan lembaga kebudayaan, lembaga persahabatan, badan promosi, dan lembaga atau badan Indonesia lainnya di luar negeri.
(2) Pendirian lembaga dan atau badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah mendapat pertimbangan tertulis dari Menteri.
Pasal 12
(1) Dalam usaha mengembangkan Hubungan Luar Negeri dapat juga didirikan lembaga
persahabatan, lembaga kebudayaan, dan lembaga atau badan kerja sama asing lain di
Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pendirian lembaga atau badan kerja sama asing
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Pasal 13
Lembaga Negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, yang
mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi
mengenai rencana tersebut dengan Menteri.
Pasal 14
Pejabat lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, yang akan
menandatangani perjanjian internasional yang dibuat antara Pemerintah Republik Indonesia
dengan Pemerintah negara lain, organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lainnya,
harus mendapat surat kuasa dari Menteri.
Pasal 15
Ketentuan mengenai pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional diatur dengan undang-
undang tersendiri.
BAB IV
KEKEBALAN, HAK ISTIMEWA, DAN PEMBEBASAN
Pasal 16
Pemberian kekebalan, hak istimewa, dan pembebasan dari kewajiban tertentu kepada perwakilan
diplomatik dan konsuler, misi khusus, perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa, perwakilan badan-
badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan organisasi internasional lainnya, dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.
Pasal 17
(1) Berdasarkan pertimbangan tertentu, Pemerintah Republik Indonesia dapat memberikan
pembebasan dari kewajiban tertentu kepada pihak-pihak yang tidak ditentukan dalam Pasal
16.
(2) Pemberian pembebasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan berdasar
pada peraturan perundangan-undangan nasional.
BAB V
PERLINDUNGAN KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA
Pasal 18
(1) Pemerintah Republik Indonesia melindungi kepentingan warga negara atau badan hukum
Indonesia yang menghadapi permasalahan hukum dengan perwakilan negara asing di
Indonesia.
(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum dan kebiasaan internasional.
Pasal 19
Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban:
a. memupuk persatuan dan kerukunan antara sesama warga negara Indonesia di luar negeri;
b. memberikan pengayoman, perlindungan, dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan
hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional
serta hukum dan kebiasaan internasional.
Pasal 20
Dalam hal terjadi sengketa antara sesama warga negara atau badan hukum Indonesia di luar
negeri, Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban membantu menyelesaikannya berdasarkan
asas musyawarah atau sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pasal 21
Dalam hal warga negara Indonesia terancam bahaya nyata, Perwakilan Republik Indonesia
berkewajiban memberikan perlindungan, membantu, dan menghimpun mereka di wilayah yang
aman, serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya negara.
Pasal 22
Dalam hal terjadi perang dan atau pemutusan hubungan diplomatik dengan suatu negara, Menteri
atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Presiden, mengkoordinasikan usaha untuk mengamankan dan
melindungi kepentingan nasional, termasuk warga negara Indonesia.
Pasal 23
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 dilakukan melalui
kerja sama dengan pemerintah setempat atau negara lain atau organisasi internasional yang
terkait.
Pasal 24
(1) Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban untuk mencatat keberadaan dan membuat
surat keterangan mengenai kelahiran, perkawinan, perceraian, dan kematian warga negara
Republik Indonesia serta melakukan tugas-tugas konsuler lainnya di wilayah akreditasinya.
(2) Dalam hal perkawinan dan perceraian, pencatatan dan pembuatan surat keterangan hanya
dapat dilakukan apabila kedua hal itu telah dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku di tempat wilayah kerja Perwakilan Republik Indonesia yang bersangkutan,
sepanjang hukum dan ketentuan-ketentuan asing tersebut tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan Indonesia.
BAB VI
PEMBERIAN SUAKA DAN MASALAH PENGUNGSI
Pasal 25
(1) Kewenangan pemberian suaka kepada orang asing berada di tangan Presiden dengan
memperhatikan pertimbangan Menteri.
(2) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan
Presiden.
Pasal 26
Pemberian suaka kepada orang asing dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan nasional serta dengan memperhatikan hukum, kebiasaan, dan praktek internasional.
Pasal 27
(1) Presiden menetapkan kebijakan masalah pengungsi dari luar negeri dengan memperhatikan
pertimbangan Menteri.
(2) Pokok-pokok kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan
Presiden.
BAB VII
APARATUR HUBUNGAN LUAR NEGERI
Pasal 28
(1) Menteri menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintahan dan pembangunan dalam
bidang Hubungan Luar Negeri dan Politik Luar Negeri.
(2) Koordinasi dalam penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan pelaksanaan Politik Luar
Negeri diselenggarakan oleh Menteri.
Pasal 29
(1) Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah pejabat negara yang diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara.
(2) Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh mewakili negara dan bangsa Indonesia dan
menjadi wakil pribadi Presiden Republik Indonesia di suatu negara atau pada suatu
organisasi internasional.
(3) Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh yang telah menyelesaikan masa tugasnya
mendapat hak keuangan dan administratif yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
(1) Untuk melaksanakan tugas diplomatik di bidang khusus, Presiden dapat mengangkat
Pejabat lain setingkat Duta Besar.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat dengan Keputusan Presiden.
Pasal 31
(1) Pejabat Dinas Luar Negeri adalah Pegawai Negeri Sipil yang telah mengikuti pendidikan dan
latihan khusus untuk bertugas di Departemen Luar Negeri dan Perwakilan Republik
Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai pendidikan dan latihan Pejabat Dinas Luar Negeri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 32
(1) Pejabat Dinas Luar Negeri adalah Pejabat Fungsional Diplomat.
(2) Pejabat Fungsional Diplomat dapat memegang jabatan struktural.
(3) Tata cara pengangkatan dan penempatan Pejabat Dinas Luar Negeri diatur dengan
Keputusan Menteri.
(4) Hak dan kewajiban Pejabat Dinas Luar Negeri diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 33
Jenjang kepangkatan dan gelar Pejabat Dinas Luar Negeri dan penempatannya pada Perwakilan
Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 34
Hubungan kerja antara Departemen Luar Negeri dan Perwakilan Republik Indonesia diatur dengan
Keputusan Menteri.
BAB VIII
PEMBERIAN DAN PENERIMAAN SURAT KEPERCAYAAN
Pasal 35
(1) Presiden memberikan Surat Kepercayaan kepada Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa
Penuh Republik Indonesia untuk suatu negara tertentu atau pada suatu organisasi
internasional.
(2) Presiden menerima Surat Kepercayaan dari kepala negara asing bagi pengangkatan Duta
Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh negara tersebut untuk Indonesia.
Pasal 36
(1) Dalam hal seseorang ditunjuk untuk mewakili Negara Republik Indonesia pada suatu
upacara tertentu di luar negeri, jika disyaratkan, kepada orang yang ditunjuk diberikan Surat
Kepercayaan yang ditandatangani oleh Presiden.
(2) Dalam hal seseorang ditunjuk untuk mewakili Pemerintah Republik Indonesia dalam suatu
konferensi internasional, jika disyaratkan, kepada orang yang ditunjuk diberikan Surat
Kepercayaan yang ditandatangani oleh Menteri.
Pasal 37
(1) Presiden menandatangani Surat Tauliah bagi seorang Konsul Jenderal atau Konsul
Republik Indonesia yang diangkat guna melaksanakan tugas konsuler untuk suatu wilayah
tertentu pada suatu negara asing.
(2) Presiden menerima Surat Tauliah seorang Konsul Jenderal atau Konsul asing yang bertugas
di Indonesia serta mengeluarkan eksekuatur untuk memulai tugasnya.
Pasal 38
(1) Presiden menandatangani Surat Tauliah bagi seorang Konsul Jenderal Kehormatan atau
Konsul Kehormatan Republik Indonesia yang diangkat guna melaksanakan tugas konsuler
untuk suatu wilayah tertentu pada suatu negara asing.
(2) Presiden menerima Surat Tauliah seorang Konsul Jenderal Kehormatan atau Konsul
Kehormatan asing yang bertugas di Indonesia serta mengeluarkan eksekuatur.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 39
Peraturan perundang-undangan mengenai atau berkaitan dengan Hubungan Luar Negeri yang
sudah ada pada saat mulai berlakunya undang-undang ini tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 14 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 14 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MULADI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 156
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 37 TAHUN 1999
TANGGAL 14 SEPTEMBER 1999
TENTANG
HUBUNGAN LUAR NEGERI
UMUM
Dalam memperjuangkan dan mempertahankan kepentingan nasional, termasuk perlindungan
kepada warga negara Indonesia di luar negeri, diperlukan upaya yang mencakup kegiatan politik
dan hubungan luar negeri yang berlandaskan ketentuan-ketentuan yang merupakan penjabaran
lebih lanjut dari falsafah Pancasila, Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945
serta Garis-garis Besar Haluan Negara.
Dasar pemikiran yang melandasi Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri adalah bahwa
penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri memerlukan
ketentuan-ketentuan yang secara jelas mengatur segala aspek yang menyangkut sarana dan
mekanisme pelaksanaan kegiatan tersebut.
Dalam dunia yang makin lama makin maju sebagai akibat pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi secara global, serta meningkatnya interaksi dan interdependensi
antarnegara dan antarbangsa, maka makin meningkat pula hubungan internasional yang diwarnai
dengan kerja sama dalam berbagai bidang. Kemajuan dalam pembangunan yang dicapai
Indonesia di berbagai bidang telah menyebabkan makin meningkatnya kegiatan Indonesia di dunia
internasional, baik dari pemerintah maupun swasta/perseorangan, membawa akibat perlu
ditingkatkannya perlindungan terhadap kepentingan negara dan warga negara.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan
politik luar negeri yang ada sebelum dibentuknya Undang-undang ini baru mengatur beberapa aspek saja dari penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri serta
belum secara menyeluruh dan terpadu. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu produk hukum
yang kuat yang dapat menjamin terciptanya kepastian hukum bagi penyelenggaraan hubungan
luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, termasuk koordinasi antarinstansi pemerintah dan antarunit yang ada di Departemen Luar Negeri.
Dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, Indonesia
terikat oleh ketentuan-ketentuan hukum dan kebiasaan internasional, yang merupakan dasar bagi pergaulan dan hubungan antarnegara. Oleh karena itu Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri ini sangat penting artinya, mengingat Indonesia telah meratifikasi Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler, dan Konvensi tentang Misi Khusus, New York 1969. Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri merupakan pelaksanaan dari ketentuan dasar yang tercantum di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berkenaan dengan hubungan luar negeri. Undang-undang ini mengatur segala aspek penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, termasuk sarana dan mekanisme pelaksanaannya, perlindungan kepada warga negara Indonesia di luar negeri dan aparatur hubungan luar negeri.
Pokok-pokok materi yang diatur di dalam Undang-undang ini adalah:
a. Penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, termasuk
sarana dan mekanisme pelaksanaannya, koordinasi di pusat dan perwakilan, wewenang
dan pelimpahan wewenang dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan
politik luar negeri.
b. Ketentuan-ketentuan yang bersifat pokok mengenai pembuatan dan pengesahan perjanjian
internasional, yang pengaturannya secara lebih rinci, termasuk kriteria perjanjian
internasional yang pengesahannya memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,
ditetapkan dengan undang-undang tersendiri.
c. Perlindungan kepada warga negara Indonesia, termasuk pemberian bantuan dan
penyuluhan hukum, serta pelayanan konsuler.
d. Aparatur hubungan luar negeri. Penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan
politik luar negeri melibatkan berbagai lembaga negara dan lembaga pemerintah beserta
perangkatnya. Agar tercapai hasil yang maksimal, diperlukan adanya koordinasi antara
lembaga-lembaga yang bersangkutan dengan Departemen Luar Negeri. Untuk tujuan
tersebut, diperlukan adanya suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur secara
jelas serta menjamin kepastian hukum penyelenggaraan hubungan luar negeri dan
pelaksanaan politik luar negeri, yang diatur dalam Undang-undang tentang Hubungan Luar
Negeri. Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, serta merupakan penyempurnaan terhadap peraturan-peraturan yang ada mengenai beberapa aspek
penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Pelaksanaan politik luar negeri Republik Indonesia haruslah merupakan pencerminan ideologi
bangsa. Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia merupakan landasan idiil yang
mempengaruhi dan menjiwai politik luar negeri Republik Indonesia. Pelaksanaan politik luar negeri
yang bebas aktif berdasar atas hukum dasar, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan
konstitusional yang tidak lepas dari tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana termaktub di
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. Garis-garis Besar Haluan Negara
adalah landasan operasional politik luar negeri Republik Indonesia, yakni suatu landasan
pelaksanaan yang menegaskan dasar, sifat, dan pedoman perjuangan untuk mencapai tujuan
nasional bangsa Indonesia. Pelaksanaan politik luar negeri Republik Indonesia tidak dapat
dipisahkan dari konsepsi Ketahanan Nasional. Ketahanan Nasional adalah kondisi kehidupan
bangsa Indonesia berdasarkan Wawasan Nusantara dalam rangka mewujudkan daya tangkal dan daya tahan untuk dapat mengadakan interaksi dengan lingkungan pada suatu waktu sedemikian rupa, sehingga dapat menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan kehidupan bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan nasional, yakni suatu masyarakat adil dan makmur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan "bebas aktif" adalah politik luar negeri yang pada hakikatnya bukan
merupakan politik netral, melainkan politik luar negeri yang bebas menentukan sikap dan
kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri secara a priori
pada satu kekuatan dunia serta secara aktif memberikan sumbangan, baik dalam bentuk pemikiran
maupun partisipasi aktif dalam menyelesaikan konflik, sengketa dan permasalahan dunia lainnya,
demi terwujudnya ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial. Yang dimaksud dengan diabdikan untuk "kepentingan nasional" adalah politik luar
negeri yang dilakukan guna mendukung terwujudnya tujuan nasional sebagaimana tersebut di
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 4
Diplomasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini menggambarkan jati diri diplomasi Indonesia.
Diplomasi yang tidak sekedar bersifat "rutin", dapat menempuh cara-cara "nonkonvensional", cara-cara yang tidak terlalu terikat pada kelaziman protokoler ataupun tugas rutin belaka, tanpa
mengabaikan norma-norma dasar dalam tata krama diplomasi internasional.
Diplomasi yang dibekali keteguhan dalam prinsip dan pendirian, ketegasan dalam sikap, kegigihan dalam upaya namun luwes dan rasional dalam pendekatan, yang bersumber pada kepercayaan diri sendiri. Diplomasi yang mencari keharmonisan, keadilan dan keserasian dalam hubungan antarnegara, menjauhi sikap konfrontasi atau pun politik kekerasan/kekuasaan (power politics), menyumbang penyelesaian berbagai konflik dan permasalahan di dunia, dengan memperbanyak kawan dan mengurangi lawan. Diplomasi yang ditopang oleh profesionalisme yang tangguh dan tanggap, tidak sekedar bersikap reaktif tetapi mampu secara aktif, kreatif, dan antisipatif berperan dan berprakarsa.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kalangan nonpemerintah yang dimaksud dalam ayat ini mencakup perseorangan dan
organisasi yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lazim disebut dan dikategorikan sebagai
non governmental organization (NGO), termasuk Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 6
Ayat (1)
Kewenangan Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, sepanjang yang menyangkut
pernyataan perang, pembuatan perdamaian, dan perjanjian dilaksanakan dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Dasar
1945.
Ayat (2)
Agar Menteri dapat membantu Presiden, kepada Menteri perlu dilimpahkan kewenangan
penyelenggaraan hubungan luar negeri dan politik luar negeri oleh Presiden. Ketentuan ini
sesuai dengan fungsi Menteri sebagai pembantu Presiden yang bertanggungjawab di bidang
penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri.
Ayat (3)
Dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri mungkin terjadi tindakan-tindakan atau
terdapat keadaan-keadaan yang bertentangan atau tidak sesuai dengan politik luar negeri,
perundang-undangan nasional, serta hukum dan kebiasaan internasional. Tindakan dan
keadaan demikian harus dihindarkan. Oleh karena itu Menteri perlu mempunyai wewenang
untuk menanggulangi terjadinya tindakan-tindakan atau terdapatnya keadaan-keadaan
tersebut dengan mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu. Langkah-langkah yang
dapat diambil oleh Menteri Luar Negeri yang dimaksudkan dalam ayat ini dapat bersifat
preventif, seperti pemberian informasi tentang pokok-pokok kebijakan Pemerintah di bidang
luar negeri, permintaan untuk tidak berkunjung ke suatu negara tertentu, dan sebagainya.
Langkah-langkah itu dapat juga bersifat represif, seperti peringatan kepada pelaku
hubungan luar negeri yang tindakannya bertentangan atau tidak sesuai dengan kebijakan
politik luar negeri dan peraturan perundang-undangan nasional dalam penyelenggaraan
hubungan luar negerinya, mencegah tindak lanjut suatu kesepakatan yang mungkin dicapai
oleh pelaku hubungan luar negeri di Indonesia dengan mitra asingnya, mengusulkan kepada
lembaga negara atau lembaga pemerintah yang berwenang untuk melakukan tindakan
administratif kepada yang bersangkutan, dan sebagainya.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Konsultasi dan koordinasi dengan Menteri diperlukan untuk mencegah terjadinya implikasi
yang bertentangan atau tidak sesuai dengan politik luar negeri Republik Indonesia dan
kebijakan pemerintah mengenai masalah-masalah tertentu yang menyangkut hubungan luar
negeri.
Pasal 8
Ayat (1)
Kemungkinan penempatan pejabat sebagaimana disebut dalam Pasal ini adalah sesuai
dengan Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik, 1961.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Pembukaan hubungan diplomatik atau konsuler sebagaimana dimaksud dalam ayat ini
mencakup pembukaan kembali hubungan diplomatik atau konsuler. Pemutusan hubungan
diplomatik atau konsuler sebagaimana dimaksud dalam ayat ini mencakup penghentian
untuk sementara kegiatan diplomatik atau konsuler dengan atau di negara yang
bersangkutan. Pembukaan atau pembukaan kembali hubungan diplomatik atau konsuler
dilakukan menurut tata cara yang lazim dianut dalam praktek internasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Sebagai sumbangan pada upaya pemeliharaan perdamaian internasional, sejak 1956 Indonesia
telah berkali-kali mengirimkan pasukan atau misi pemeliharaan perdamaian, terutama dalam
rangka Perserikatan Bangsa-Bangsa. Peran serta Indonesia dalam kegiatan internasional itu
sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan antara lain bahwa
salah satu tujuan Pemerintah Negara Indonesia adalah ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Karena pengiriman pasukan
atau misi pemeliharaan perdamaian merupakan pelaksanaan politik luar negeri, dalam mengambil keputusan, Presiden memperhatikan pertimbangan Menteri. Di samping itu karena pelaksanaan pengiriman pasukan atau misi perdamaian itu melibatkan berbagai lembaga pemerintah, maka pengiriman pasukan atau misi perdamaian demikian ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 11
Ayat (1)
"Lembaga" yang dimaksud dalam ayat ini adalah organisasi yang lazim menggunakan nama
"Lembaga" dan yang bertujuan meningkatkan saling pengertian dan mempererat hubungan
antarbangsa, misalnya "Lembaga Persahabatan" dan "Lembaga Kebudayaan". "Badan
Indonesia" yang dimaksud dalam ayat ini adalah badan, dengan nama apa pun, baik yang
dibentuk oleh Pemerintah maupun swasta, yang bertujuan meningkatkan perhatian
masyarakat internasional pada berbagai potensi yang dimiliki Indonesia, misalnya di bidang
investasi dan pariwisata.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Surat Kuasa (Full Powers) adalah surat yang dikeluarkan oleh Menteri atas nama Pemerintah
Republik Indonesia yang memberi kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili
Pemerintah atau Negara Republik Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah
perjanjian yang menyatakan persetujuan Pemerintah Negara Republik Indonesia untuk
mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Kekebalan, hak istimewa, dan pembebasan kewajiban tertentu hanya dapat diberikan kepada
pihak-pihak yang ditentukan oleh perjanjian-perjanjian internasional yang telah disahkan oleh
Indonesia atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan
kebiasaan internasional.
Pasal 17
Ayat (1)
Pembebasan dari kewajiban tertentu kepada pihak-pihak yang tidak disebutkan dalam Pasal
16 hanya dapat diberikan oleh Pemerintah atas dasar kasus demi kasus, demi kepentingan
nasional, dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional. Yang
dimaksud dengan "kewajiban tertentu" dalam Pasal ini antara lain pajak, bea masuk, dan
asuransi sosial.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "perwakilan negara asing" adalah perwakilan diplomatik dan
konsuler asing beserta anggota-anggotanya. Perlindungan kepentingan warga negara
Indonesia, seperti yang bekerja pada perwakilan asing atau badan hukum Indonesia, seperti
perusahaan swasta, dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah hukum dan kebiasaan
internasional, antara lain dengan penggunaan sarana-sarana diplomatik. Dalam hal
sengketa, warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia yang bersangkutan, pada
instansi pertama, akan berhubungan dengan Departemen Luar Negeri untuk mendapatkan
perlindungan. Dalam hal ini Departemen Luar Negeri berkewajiban untuk memberikan
penyuluhan atau nasihat hukum kepada warga negara Indonesia atau badan hukum
Indonesia yang bersangkutan, khususnya yang berkenaan dengan aspek hukum dan
kebiasaan internasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
"Perlindungan dan bantuan hukum" sebagaimana disebut dalam Pasal ini termasuk pembelaan
terhadap warga negara atau badan hukum Indonesia yang menghadapi permasalahan, termasuk
perkara di Pengadilan.
Pasal 20
Salah satu fungsi perwakilan Republik Indonesia adalah melindungi kepentingan negara dan
warga negara Republik Indonesia yang berada di negara akreditasi. Namun pemberian
perlindungan itu hanya dapat diberikan oleh perwakilan Republik Indonesia yang bersangkutan
dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh hukum dan kebiasaan internasional. Dalam pemberian perlindungan itu, perwakilan Republik Indonesia mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum negara setempat. Bantuan hukum dapat diberikan dalam masalah-masalah hukum, baik yang berkaitan dengan hukum perdata maupun hukum pidana. Bantuan hukum dapat diberikan dalam bentuk pemberian pertimbangan dan nasihat hukum kepada yang bersangkutan dalam upaya penyelesaian sengketa secara kekeluargaan.
Pasal 21
Yang dimaksud dengan "bahaya nyata" dapat berupa antara lain bencana alam, invasi, perang
saudara, terorisme maupun bencana yang sedemikian rupa sehingga dapat dikategorikan sebagai ancaman terhadap keselamatan umum. Usaha pemulangan warga negara Indonesia di negara yang dilanda bahaya nyata tersebut dilakukan secara terkoordinasi. Upaya-upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini akan dilakukan oleh Perwakilan Republik Indonesia yang bersangkutan sepanjang kondisi-kondisi untuk dapat melaksanakannya memungkinkan, seperti keamanan, keselamatan akses ke tempat terjadinya bahaya nyata, terbukanya wilayah yang aman, tersedianya sarana yang diperlukan termasuk dana, dan sebagainya.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Surat-surat yang dapat dikeluarkan tersebut antara lain akta kelahiran, buku nikah yang
memuat pula di dalamnya kutipan akta perkawinan, keterangan tentang perceraian,
kematian, dan hal-hal lain yang menyangkut masalah konsuler, misalnya legalisasi
dokumen-dokumen, clearance, dan sebagainya.
Ayat (2)
Dalam hal perkawinan dan perceraian, pencatatan dan pemberian surat keterangan hanya
dapat dilakukan bilamana perkawinan dan perceraian itu telah dilakukan menurut hukum di
negara tempat perkawinan dan perceraian itu dilangsungkan dan sepanjang hukum dan
ketentuan-ketentuan asing tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum
Indonesia yang mengatur hal ini.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Pada dasarnya masalah yang dihadapi oleh pengungsi adalah masalah kemanusiaan,
sehingga penanganannya dilakukan dengan sejauh mungkin menghindarkan terganggunya
hubungan baik antara Indonesia dan negara asal pengungsi itu. Indonesia memberikan kerja
samanya kepada badan yang berwenang dalam upaya mencari penyelesaian masalah
pengungsi itu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Koordinasi yang pelaksanaannya menjadi tugas Departemen Luar Negeri merupakan
sarana untuk menjamin kesatuan sikap dan tindak dalam penyelenggaraan hubungan luar
negeri dan pelaksanaan politik luar negeri.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
"Hak keuangan dan administratif" yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah hak pensiun
sebagai pejabat negara bagi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh yang telah
menyelesaikan tugasnya, termasuk janda, duda, dan anaknya.
Pasal 30
Ayat (1)
Merupakan praktek yang dianut oleh banyak negara untuk mengangkat seseorang dengan
gelar Duta Besar guna menangani masalah tertentu dalam hubungan luar negeri.
Pengangkatan pejabat setingkat Duta Besar yang antara lain Duta Besar Keliling dilakukan
karena sangat pentingnya masalah yang bersangkutan. Gelar Duta Besar itu diberikan untuk
memudahkan hubungan yang bersangkutan dengan pihak-pihak di negara lain atau di
organisasi internasional pada tingkat yang setinggi mungkin. "Bidang khusus" sebagaimana
dimaksud dalam ayat ini menyangkut antara lain bidang Kelautan, Gerakan Non Blok (GNB),
dan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC).
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Pejabat Dinas Luar Negeri diberi status "Pejabat Fungsional" dan disebut "Pejabat
Fungsional Diplomat" sebagai pengakuan atas pengetahuan dan kemampuan khusus yang
mereka miliki di bidang diplomasi. Diplomasi sebagai cabang profesi mempunyai sifat
khusus yang memerlukan pengetahuan dan pengalaman khusus pula, terutama yang
menyangkut hubungan luar negeri.
Ayat (2)
Jika diperlukan, maka Pejabat Fungsional Diplomat dapat memegang jabatan struktural,
baik di Pusat maupun di Perwakilan Republik Indonesia, tanpa menanggalkan status dan
hak-haknya sebagai Pejabat Fungsional Diplomat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 33
Sesuai ketentuan Kongres Wina, 1815, Kongres Aken, 1818, Konvensi Wina mengenai Hubungan
Diplomatik, 1961, dan praktek internasional, jenjang kepangkatan dan gelar diplomatik tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Duta Besar;
2. Minister;
3. Minister Counsellor;
4. Counsellor;
5. Sekretaris Pertama;
6. Sekretaris Kedua;
7. Sekretaris Ketiga;
8. Atase. Jenjang kepangkatan dan gelar diplomatik, termasuk penggunaan gelar Duta Besar
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Surat Kepercayaan (credentials) untuk menghadiri peristiwa tertentu di luar negeri seperti
upacara-upacara kenegaraan, pelantikan Kepala Negara, upacara pemakaman, dan lain-lain
ditandatangani oleh Presiden.
Ayat (2)
Ketentuan ayat ini sesuai dengan praktek internasional dimana Surat Kepercayaan
ditandatangani oleh Menteri.
Pasal 37
Ayat (1)
Surat Tauliah, yang dalam bahasa asing disebut letter of commission, adalah surat yang
menetapkan gelar dan wilayah kerja seorang konsul, yang dikeluarkan oleh pemerintah
negara yang mengangkatnya dan disampaikan kepada pemerintah negara tempat konsul itu
bertugas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3882
a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat,pelaksanaan hubungan luar negeri didasarkan pada asas kesamaan derajat, saling menghormati, saling menguntungkan, dan saling tidak mencampuri urusan dalam negerimasing-masing, seperti yang tersirat di dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, salah satu tujuan Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah ikut melaksanakan ketertiban dunia yangberdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
c. bahwa untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud pada pertimbangan huruf b, Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia selama ini telah melaksanakan hubungan luar negeri dengan berbagai negara dan organisasi regional maupun internasional;
d. bahwa pelaksanaan kegiatan hubungan luar negeri, baik regional maupun internasional, melalui forum bilateral atau multilateral, diabdikan pada kepentingan nasional berdasarkan prinsip politik luar negeri yang bebas aktif;
e. bahwa dengan makin meningkatnya hubungan luar negeri dan agar prinsip politik luar negeri sebagaimana dimaksud pada pertimbangan huruf d dapat tetap terjaga, maka penyelenggaraan hubungan luar negeri perlu diatur secara menyeluruh dan terpadu dalam suatu undang-undang;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dalam huruf a, b, c, d, dan e perlu dibentuk Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 13, dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik beserta Protokol Opsionalnya mengenai Hal Memperoleh Kewarganegaraan (Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocol to The Vienna Convention on Diplomatic Relations Concerning Acquisition of Nationality), 1961 dan Pengesahan Konvensi mengenai Hubungan Konsuler beserta Protokol Opsionalnya mengenai Hal Memperoleh Kewarganegaraan (Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocol to The Vienna Convention on Consular Relations Concerning Acquisition of Nationality), 1963 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 2; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3211);
3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Misi
Khusus (Convention on Special Missions), New York, 1969 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1982 Nomor 3; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3212).
Dengan Persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
1Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Hubungan Luar Negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh Pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara Indonesia.
2. Politik Luar Negeri adalah kebijakan, sikap, dan langkah Pemerintah Republik Indonesia yang diambil dalam melakukan hubungan dengan negara lain, organisasi internasional, dan subyek hukum internasional lainnya dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional.
3. Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apa pun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang
hukum publik.
4. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang hubungan luar negeri dan politik luar negeri.
5. Organisasi Internasional adalah organisasi antarpemerintah.
Pasal 2
Hubungan Luar Negeri dan Politik Luar Negeri didasarkan pada Pancasila, Undang-UndangDasar 1945, dan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Pasal 3
Politik Luar Negeri menganut prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional.
Pasal 4
Politik Luar Negeri dilaksanakan melalui diplomasi yang kreatif, aktif, dan antisipatif, tidaksekedar rutin dan reaktif, teguh dalam prinsip dan pendirian, serta rasional dan luwes dalam pendekatan.
BAB II
PENYELENGGARAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI DAN PELAKSANAAN POLITIK LUAR
NEGERI
Pasal 5
(1) Hubungan Luar Negeri diselenggarakan sesuai dengan Politik Luar Negeri, peraturan perundang-undangan nasional dan hukum serta kebiasaan internasional.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku bagi semua penyelenggara Hubungan Luar Negeri, baik pemerintah maupun non-pemerintah.
Pasal 6
(1) Kewenangan penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan pelaksanaan Politik Luar Negeri Pemerintah Republik Indonesia berada di tangan Presiden. Sedangkan dalam hal menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain diperlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Presiden dapat melimpahkan kewenangan penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan pelaksanaan Politik Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Menteri.
(3) Menteri dapat mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu demi dipatuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Pasal 7
(1) Presiden dapat menunjuk pejabat negara selain Menteri Luar Negeri, pejabat pemerintah, atau orang lain untuk menyelenggarakan Hubungan Luar Negeri di bidang tertentu.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat negara selain Menteri Luar Negeri, pejabat pemerintah, atau orang lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri.
Pasal 8
(1) Menteri, atas usul pimpinan departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen, dapat mengangkat pejabat dari departemen atau lembaga yang bersangkutan untuk ditempatkan pada Perwakilan Republik Indonesia guna melaksanakan tugas-tugas yang menjadi bidang wewenang departemen atau lembaga tersebut.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) secara operasional dan administratif merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perwakilan Republik Indonesia serta tunduk pada peraturan-peraturan tentang tata kerja Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Pasal 9
(1) Pembukaan dan pemutusan hubungan diplomatik atau konsuler dengan negara lain serta masuk ke dalam atau keluar dari keanggotaan organisasi internasional ditetapkan oleh Presiden dengan memperhatikan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Pembukaan dan penutupan kantor perwakilan diplomatik atau konsuler di negara lain atau kantor perwakilan pada organisasi internasional ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 10
Pengiriman pasukan atau misi pemeliharaan perdamaian ditetapkan oleh Presiden dengan memperhatikan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 11
(1) Dalam usaha mengembangkan Hubungan Luar Negeri dapat didirikan lembaga kebudayaan, lembaga persahabatan, badan promosi, dan lembaga atau badan Indonesia lainnya di luar negeri.
(2) Pendirian lembaga dan atau badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah mendapat pertimbangan tertulis dari Menteri.
Pasal 12
(1) Dalam usaha mengembangkan Hubungan Luar Negeri dapat juga didirikan lembaga
persahabatan, lembaga kebudayaan, dan lembaga atau badan kerja sama asing lain di
Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pendirian lembaga atau badan kerja sama asing
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Pasal 13
Lembaga Negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, yang
mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi
mengenai rencana tersebut dengan Menteri.
Pasal 14
Pejabat lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, yang akan
menandatangani perjanjian internasional yang dibuat antara Pemerintah Republik Indonesia
dengan Pemerintah negara lain, organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lainnya,
harus mendapat surat kuasa dari Menteri.
Pasal 15
Ketentuan mengenai pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional diatur dengan undang-
undang tersendiri.
BAB IV
KEKEBALAN, HAK ISTIMEWA, DAN PEMBEBASAN
Pasal 16
Pemberian kekebalan, hak istimewa, dan pembebasan dari kewajiban tertentu kepada perwakilan
diplomatik dan konsuler, misi khusus, perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa, perwakilan badan-
badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan organisasi internasional lainnya, dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.
Pasal 17
(1) Berdasarkan pertimbangan tertentu, Pemerintah Republik Indonesia dapat memberikan
pembebasan dari kewajiban tertentu kepada pihak-pihak yang tidak ditentukan dalam Pasal
16.
(2) Pemberian pembebasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan berdasar
pada peraturan perundangan-undangan nasional.
BAB V
PERLINDUNGAN KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA
Pasal 18
(1) Pemerintah Republik Indonesia melindungi kepentingan warga negara atau badan hukum
Indonesia yang menghadapi permasalahan hukum dengan perwakilan negara asing di
Indonesia.
(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum dan kebiasaan internasional.
Pasal 19
Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban:
a. memupuk persatuan dan kerukunan antara sesama warga negara Indonesia di luar negeri;
b. memberikan pengayoman, perlindungan, dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan
hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional
serta hukum dan kebiasaan internasional.
Pasal 20
Dalam hal terjadi sengketa antara sesama warga negara atau badan hukum Indonesia di luar
negeri, Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban membantu menyelesaikannya berdasarkan
asas musyawarah atau sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pasal 21
Dalam hal warga negara Indonesia terancam bahaya nyata, Perwakilan Republik Indonesia
berkewajiban memberikan perlindungan, membantu, dan menghimpun mereka di wilayah yang
aman, serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya negara.
Pasal 22
Dalam hal terjadi perang dan atau pemutusan hubungan diplomatik dengan suatu negara, Menteri
atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Presiden, mengkoordinasikan usaha untuk mengamankan dan
melindungi kepentingan nasional, termasuk warga negara Indonesia.
Pasal 23
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 dilakukan melalui
kerja sama dengan pemerintah setempat atau negara lain atau organisasi internasional yang
terkait.
Pasal 24
(1) Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban untuk mencatat keberadaan dan membuat
surat keterangan mengenai kelahiran, perkawinan, perceraian, dan kematian warga negara
Republik Indonesia serta melakukan tugas-tugas konsuler lainnya di wilayah akreditasinya.
(2) Dalam hal perkawinan dan perceraian, pencatatan dan pembuatan surat keterangan hanya
dapat dilakukan apabila kedua hal itu telah dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku di tempat wilayah kerja Perwakilan Republik Indonesia yang bersangkutan,
sepanjang hukum dan ketentuan-ketentuan asing tersebut tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan Indonesia.
BAB VI
PEMBERIAN SUAKA DAN MASALAH PENGUNGSI
Pasal 25
(1) Kewenangan pemberian suaka kepada orang asing berada di tangan Presiden dengan
memperhatikan pertimbangan Menteri.
(2) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan
Presiden.
Pasal 26
Pemberian suaka kepada orang asing dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan nasional serta dengan memperhatikan hukum, kebiasaan, dan praktek internasional.
Pasal 27
(1) Presiden menetapkan kebijakan masalah pengungsi dari luar negeri dengan memperhatikan
pertimbangan Menteri.
(2) Pokok-pokok kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan
Presiden.
BAB VII
APARATUR HUBUNGAN LUAR NEGERI
Pasal 28
(1) Menteri menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintahan dan pembangunan dalam
bidang Hubungan Luar Negeri dan Politik Luar Negeri.
(2) Koordinasi dalam penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan pelaksanaan Politik Luar
Negeri diselenggarakan oleh Menteri.
Pasal 29
(1) Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah pejabat negara yang diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara.
(2) Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh mewakili negara dan bangsa Indonesia dan
menjadi wakil pribadi Presiden Republik Indonesia di suatu negara atau pada suatu
organisasi internasional.
(3) Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh yang telah menyelesaikan masa tugasnya
mendapat hak keuangan dan administratif yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
(1) Untuk melaksanakan tugas diplomatik di bidang khusus, Presiden dapat mengangkat
Pejabat lain setingkat Duta Besar.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat dengan Keputusan Presiden.
Pasal 31
(1) Pejabat Dinas Luar Negeri adalah Pegawai Negeri Sipil yang telah mengikuti pendidikan dan
latihan khusus untuk bertugas di Departemen Luar Negeri dan Perwakilan Republik
Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai pendidikan dan latihan Pejabat Dinas Luar Negeri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 32
(1) Pejabat Dinas Luar Negeri adalah Pejabat Fungsional Diplomat.
(2) Pejabat Fungsional Diplomat dapat memegang jabatan struktural.
(3) Tata cara pengangkatan dan penempatan Pejabat Dinas Luar Negeri diatur dengan
Keputusan Menteri.
(4) Hak dan kewajiban Pejabat Dinas Luar Negeri diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 33
Jenjang kepangkatan dan gelar Pejabat Dinas Luar Negeri dan penempatannya pada Perwakilan
Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 34
Hubungan kerja antara Departemen Luar Negeri dan Perwakilan Republik Indonesia diatur dengan
Keputusan Menteri.
BAB VIII
PEMBERIAN DAN PENERIMAAN SURAT KEPERCAYAAN
Pasal 35
(1) Presiden memberikan Surat Kepercayaan kepada Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa
Penuh Republik Indonesia untuk suatu negara tertentu atau pada suatu organisasi
internasional.
(2) Presiden menerima Surat Kepercayaan dari kepala negara asing bagi pengangkatan Duta
Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh negara tersebut untuk Indonesia.
Pasal 36
(1) Dalam hal seseorang ditunjuk untuk mewakili Negara Republik Indonesia pada suatu
upacara tertentu di luar negeri, jika disyaratkan, kepada orang yang ditunjuk diberikan Surat
Kepercayaan yang ditandatangani oleh Presiden.
(2) Dalam hal seseorang ditunjuk untuk mewakili Pemerintah Republik Indonesia dalam suatu
konferensi internasional, jika disyaratkan, kepada orang yang ditunjuk diberikan Surat
Kepercayaan yang ditandatangani oleh Menteri.
Pasal 37
(1) Presiden menandatangani Surat Tauliah bagi seorang Konsul Jenderal atau Konsul
Republik Indonesia yang diangkat guna melaksanakan tugas konsuler untuk suatu wilayah
tertentu pada suatu negara asing.
(2) Presiden menerima Surat Tauliah seorang Konsul Jenderal atau Konsul asing yang bertugas
di Indonesia serta mengeluarkan eksekuatur untuk memulai tugasnya.
Pasal 38
(1) Presiden menandatangani Surat Tauliah bagi seorang Konsul Jenderal Kehormatan atau
Konsul Kehormatan Republik Indonesia yang diangkat guna melaksanakan tugas konsuler
untuk suatu wilayah tertentu pada suatu negara asing.
(2) Presiden menerima Surat Tauliah seorang Konsul Jenderal Kehormatan atau Konsul
Kehormatan asing yang bertugas di Indonesia serta mengeluarkan eksekuatur.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 39
Peraturan perundang-undangan mengenai atau berkaitan dengan Hubungan Luar Negeri yang
sudah ada pada saat mulai berlakunya undang-undang ini tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 14 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 14 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MULADI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 156
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 37 TAHUN 1999
TANGGAL 14 SEPTEMBER 1999
TENTANG
HUBUNGAN LUAR NEGERI
UMUM
Dalam memperjuangkan dan mempertahankan kepentingan nasional, termasuk perlindungan
kepada warga negara Indonesia di luar negeri, diperlukan upaya yang mencakup kegiatan politik
dan hubungan luar negeri yang berlandaskan ketentuan-ketentuan yang merupakan penjabaran
lebih lanjut dari falsafah Pancasila, Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945
serta Garis-garis Besar Haluan Negara.
Dasar pemikiran yang melandasi Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri adalah bahwa
penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri memerlukan
ketentuan-ketentuan yang secara jelas mengatur segala aspek yang menyangkut sarana dan
mekanisme pelaksanaan kegiatan tersebut.
Dalam dunia yang makin lama makin maju sebagai akibat pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi secara global, serta meningkatnya interaksi dan interdependensi
antarnegara dan antarbangsa, maka makin meningkat pula hubungan internasional yang diwarnai
dengan kerja sama dalam berbagai bidang. Kemajuan dalam pembangunan yang dicapai
Indonesia di berbagai bidang telah menyebabkan makin meningkatnya kegiatan Indonesia di dunia
internasional, baik dari pemerintah maupun swasta/perseorangan, membawa akibat perlu
ditingkatkannya perlindungan terhadap kepentingan negara dan warga negara.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan
politik luar negeri yang ada sebelum dibentuknya Undang-undang ini baru mengatur beberapa aspek saja dari penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri serta
belum secara menyeluruh dan terpadu. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu produk hukum
yang kuat yang dapat menjamin terciptanya kepastian hukum bagi penyelenggaraan hubungan
luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, termasuk koordinasi antarinstansi pemerintah dan antarunit yang ada di Departemen Luar Negeri.
Dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, Indonesia
terikat oleh ketentuan-ketentuan hukum dan kebiasaan internasional, yang merupakan dasar bagi pergaulan dan hubungan antarnegara. Oleh karena itu Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri ini sangat penting artinya, mengingat Indonesia telah meratifikasi Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler, dan Konvensi tentang Misi Khusus, New York 1969. Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri merupakan pelaksanaan dari ketentuan dasar yang tercantum di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berkenaan dengan hubungan luar negeri. Undang-undang ini mengatur segala aspek penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, termasuk sarana dan mekanisme pelaksanaannya, perlindungan kepada warga negara Indonesia di luar negeri dan aparatur hubungan luar negeri.
Pokok-pokok materi yang diatur di dalam Undang-undang ini adalah:
a. Penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, termasuk
sarana dan mekanisme pelaksanaannya, koordinasi di pusat dan perwakilan, wewenang
dan pelimpahan wewenang dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan
politik luar negeri.
b. Ketentuan-ketentuan yang bersifat pokok mengenai pembuatan dan pengesahan perjanjian
internasional, yang pengaturannya secara lebih rinci, termasuk kriteria perjanjian
internasional yang pengesahannya memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,
ditetapkan dengan undang-undang tersendiri.
c. Perlindungan kepada warga negara Indonesia, termasuk pemberian bantuan dan
penyuluhan hukum, serta pelayanan konsuler.
d. Aparatur hubungan luar negeri. Penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan
politik luar negeri melibatkan berbagai lembaga negara dan lembaga pemerintah beserta
perangkatnya. Agar tercapai hasil yang maksimal, diperlukan adanya koordinasi antara
lembaga-lembaga yang bersangkutan dengan Departemen Luar Negeri. Untuk tujuan
tersebut, diperlukan adanya suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur secara
jelas serta menjamin kepastian hukum penyelenggaraan hubungan luar negeri dan
pelaksanaan politik luar negeri, yang diatur dalam Undang-undang tentang Hubungan Luar
Negeri. Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, serta merupakan penyempurnaan terhadap peraturan-peraturan yang ada mengenai beberapa aspek
penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Pelaksanaan politik luar negeri Republik Indonesia haruslah merupakan pencerminan ideologi
bangsa. Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia merupakan landasan idiil yang
mempengaruhi dan menjiwai politik luar negeri Republik Indonesia. Pelaksanaan politik luar negeri
yang bebas aktif berdasar atas hukum dasar, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan
konstitusional yang tidak lepas dari tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana termaktub di
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. Garis-garis Besar Haluan Negara
adalah landasan operasional politik luar negeri Republik Indonesia, yakni suatu landasan
pelaksanaan yang menegaskan dasar, sifat, dan pedoman perjuangan untuk mencapai tujuan
nasional bangsa Indonesia. Pelaksanaan politik luar negeri Republik Indonesia tidak dapat
dipisahkan dari konsepsi Ketahanan Nasional. Ketahanan Nasional adalah kondisi kehidupan
bangsa Indonesia berdasarkan Wawasan Nusantara dalam rangka mewujudkan daya tangkal dan daya tahan untuk dapat mengadakan interaksi dengan lingkungan pada suatu waktu sedemikian rupa, sehingga dapat menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan kehidupan bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan nasional, yakni suatu masyarakat adil dan makmur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan "bebas aktif" adalah politik luar negeri yang pada hakikatnya bukan
merupakan politik netral, melainkan politik luar negeri yang bebas menentukan sikap dan
kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri secara a priori
pada satu kekuatan dunia serta secara aktif memberikan sumbangan, baik dalam bentuk pemikiran
maupun partisipasi aktif dalam menyelesaikan konflik, sengketa dan permasalahan dunia lainnya,
demi terwujudnya ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial. Yang dimaksud dengan diabdikan untuk "kepentingan nasional" adalah politik luar
negeri yang dilakukan guna mendukung terwujudnya tujuan nasional sebagaimana tersebut di
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 4
Diplomasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini menggambarkan jati diri diplomasi Indonesia.
Diplomasi yang tidak sekedar bersifat "rutin", dapat menempuh cara-cara "nonkonvensional", cara-cara yang tidak terlalu terikat pada kelaziman protokoler ataupun tugas rutin belaka, tanpa
mengabaikan norma-norma dasar dalam tata krama diplomasi internasional.
Diplomasi yang dibekali keteguhan dalam prinsip dan pendirian, ketegasan dalam sikap, kegigihan dalam upaya namun luwes dan rasional dalam pendekatan, yang bersumber pada kepercayaan diri sendiri. Diplomasi yang mencari keharmonisan, keadilan dan keserasian dalam hubungan antarnegara, menjauhi sikap konfrontasi atau pun politik kekerasan/kekuasaan (power politics), menyumbang penyelesaian berbagai konflik dan permasalahan di dunia, dengan memperbanyak kawan dan mengurangi lawan. Diplomasi yang ditopang oleh profesionalisme yang tangguh dan tanggap, tidak sekedar bersikap reaktif tetapi mampu secara aktif, kreatif, dan antisipatif berperan dan berprakarsa.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kalangan nonpemerintah yang dimaksud dalam ayat ini mencakup perseorangan dan
organisasi yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lazim disebut dan dikategorikan sebagai
non governmental organization (NGO), termasuk Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 6
Ayat (1)
Kewenangan Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, sepanjang yang menyangkut
pernyataan perang, pembuatan perdamaian, dan perjanjian dilaksanakan dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Dasar
1945.
Ayat (2)
Agar Menteri dapat membantu Presiden, kepada Menteri perlu dilimpahkan kewenangan
penyelenggaraan hubungan luar negeri dan politik luar negeri oleh Presiden. Ketentuan ini
sesuai dengan fungsi Menteri sebagai pembantu Presiden yang bertanggungjawab di bidang
penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri.
Ayat (3)
Dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri mungkin terjadi tindakan-tindakan atau
terdapat keadaan-keadaan yang bertentangan atau tidak sesuai dengan politik luar negeri,
perundang-undangan nasional, serta hukum dan kebiasaan internasional. Tindakan dan
keadaan demikian harus dihindarkan. Oleh karena itu Menteri perlu mempunyai wewenang
untuk menanggulangi terjadinya tindakan-tindakan atau terdapatnya keadaan-keadaan
tersebut dengan mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu. Langkah-langkah yang
dapat diambil oleh Menteri Luar Negeri yang dimaksudkan dalam ayat ini dapat bersifat
preventif, seperti pemberian informasi tentang pokok-pokok kebijakan Pemerintah di bidang
luar negeri, permintaan untuk tidak berkunjung ke suatu negara tertentu, dan sebagainya.
Langkah-langkah itu dapat juga bersifat represif, seperti peringatan kepada pelaku
hubungan luar negeri yang tindakannya bertentangan atau tidak sesuai dengan kebijakan
politik luar negeri dan peraturan perundang-undangan nasional dalam penyelenggaraan
hubungan luar negerinya, mencegah tindak lanjut suatu kesepakatan yang mungkin dicapai
oleh pelaku hubungan luar negeri di Indonesia dengan mitra asingnya, mengusulkan kepada
lembaga negara atau lembaga pemerintah yang berwenang untuk melakukan tindakan
administratif kepada yang bersangkutan, dan sebagainya.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Konsultasi dan koordinasi dengan Menteri diperlukan untuk mencegah terjadinya implikasi
yang bertentangan atau tidak sesuai dengan politik luar negeri Republik Indonesia dan
kebijakan pemerintah mengenai masalah-masalah tertentu yang menyangkut hubungan luar
negeri.
Pasal 8
Ayat (1)
Kemungkinan penempatan pejabat sebagaimana disebut dalam Pasal ini adalah sesuai
dengan Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik, 1961.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Pembukaan hubungan diplomatik atau konsuler sebagaimana dimaksud dalam ayat ini
mencakup pembukaan kembali hubungan diplomatik atau konsuler. Pemutusan hubungan
diplomatik atau konsuler sebagaimana dimaksud dalam ayat ini mencakup penghentian
untuk sementara kegiatan diplomatik atau konsuler dengan atau di negara yang
bersangkutan. Pembukaan atau pembukaan kembali hubungan diplomatik atau konsuler
dilakukan menurut tata cara yang lazim dianut dalam praktek internasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Sebagai sumbangan pada upaya pemeliharaan perdamaian internasional, sejak 1956 Indonesia
telah berkali-kali mengirimkan pasukan atau misi pemeliharaan perdamaian, terutama dalam
rangka Perserikatan Bangsa-Bangsa. Peran serta Indonesia dalam kegiatan internasional itu
sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan antara lain bahwa
salah satu tujuan Pemerintah Negara Indonesia adalah ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Karena pengiriman pasukan
atau misi pemeliharaan perdamaian merupakan pelaksanaan politik luar negeri, dalam mengambil keputusan, Presiden memperhatikan pertimbangan Menteri. Di samping itu karena pelaksanaan pengiriman pasukan atau misi perdamaian itu melibatkan berbagai lembaga pemerintah, maka pengiriman pasukan atau misi perdamaian demikian ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 11
Ayat (1)
"Lembaga" yang dimaksud dalam ayat ini adalah organisasi yang lazim menggunakan nama
"Lembaga" dan yang bertujuan meningkatkan saling pengertian dan mempererat hubungan
antarbangsa, misalnya "Lembaga Persahabatan" dan "Lembaga Kebudayaan". "Badan
Indonesia" yang dimaksud dalam ayat ini adalah badan, dengan nama apa pun, baik yang
dibentuk oleh Pemerintah maupun swasta, yang bertujuan meningkatkan perhatian
masyarakat internasional pada berbagai potensi yang dimiliki Indonesia, misalnya di bidang
investasi dan pariwisata.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Surat Kuasa (Full Powers) adalah surat yang dikeluarkan oleh Menteri atas nama Pemerintah
Republik Indonesia yang memberi kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili
Pemerintah atau Negara Republik Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah
perjanjian yang menyatakan persetujuan Pemerintah Negara Republik Indonesia untuk
mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Kekebalan, hak istimewa, dan pembebasan kewajiban tertentu hanya dapat diberikan kepada
pihak-pihak yang ditentukan oleh perjanjian-perjanjian internasional yang telah disahkan oleh
Indonesia atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan
kebiasaan internasional.
Pasal 17
Ayat (1)
Pembebasan dari kewajiban tertentu kepada pihak-pihak yang tidak disebutkan dalam Pasal
16 hanya dapat diberikan oleh Pemerintah atas dasar kasus demi kasus, demi kepentingan
nasional, dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional. Yang
dimaksud dengan "kewajiban tertentu" dalam Pasal ini antara lain pajak, bea masuk, dan
asuransi sosial.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "perwakilan negara asing" adalah perwakilan diplomatik dan
konsuler asing beserta anggota-anggotanya. Perlindungan kepentingan warga negara
Indonesia, seperti yang bekerja pada perwakilan asing atau badan hukum Indonesia, seperti
perusahaan swasta, dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah hukum dan kebiasaan
internasional, antara lain dengan penggunaan sarana-sarana diplomatik. Dalam hal
sengketa, warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia yang bersangkutan, pada
instansi pertama, akan berhubungan dengan Departemen Luar Negeri untuk mendapatkan
perlindungan. Dalam hal ini Departemen Luar Negeri berkewajiban untuk memberikan
penyuluhan atau nasihat hukum kepada warga negara Indonesia atau badan hukum
Indonesia yang bersangkutan, khususnya yang berkenaan dengan aspek hukum dan
kebiasaan internasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
"Perlindungan dan bantuan hukum" sebagaimana disebut dalam Pasal ini termasuk pembelaan
terhadap warga negara atau badan hukum Indonesia yang menghadapi permasalahan, termasuk
perkara di Pengadilan.
Pasal 20
Salah satu fungsi perwakilan Republik Indonesia adalah melindungi kepentingan negara dan
warga negara Republik Indonesia yang berada di negara akreditasi. Namun pemberian
perlindungan itu hanya dapat diberikan oleh perwakilan Republik Indonesia yang bersangkutan
dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh hukum dan kebiasaan internasional. Dalam pemberian perlindungan itu, perwakilan Republik Indonesia mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum negara setempat. Bantuan hukum dapat diberikan dalam masalah-masalah hukum, baik yang berkaitan dengan hukum perdata maupun hukum pidana. Bantuan hukum dapat diberikan dalam bentuk pemberian pertimbangan dan nasihat hukum kepada yang bersangkutan dalam upaya penyelesaian sengketa secara kekeluargaan.
Pasal 21
Yang dimaksud dengan "bahaya nyata" dapat berupa antara lain bencana alam, invasi, perang
saudara, terorisme maupun bencana yang sedemikian rupa sehingga dapat dikategorikan sebagai ancaman terhadap keselamatan umum. Usaha pemulangan warga negara Indonesia di negara yang dilanda bahaya nyata tersebut dilakukan secara terkoordinasi. Upaya-upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini akan dilakukan oleh Perwakilan Republik Indonesia yang bersangkutan sepanjang kondisi-kondisi untuk dapat melaksanakannya memungkinkan, seperti keamanan, keselamatan akses ke tempat terjadinya bahaya nyata, terbukanya wilayah yang aman, tersedianya sarana yang diperlukan termasuk dana, dan sebagainya.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Surat-surat yang dapat dikeluarkan tersebut antara lain akta kelahiran, buku nikah yang
memuat pula di dalamnya kutipan akta perkawinan, keterangan tentang perceraian,
kematian, dan hal-hal lain yang menyangkut masalah konsuler, misalnya legalisasi
dokumen-dokumen, clearance, dan sebagainya.
Ayat (2)
Dalam hal perkawinan dan perceraian, pencatatan dan pemberian surat keterangan hanya
dapat dilakukan bilamana perkawinan dan perceraian itu telah dilakukan menurut hukum di
negara tempat perkawinan dan perceraian itu dilangsungkan dan sepanjang hukum dan
ketentuan-ketentuan asing tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum
Indonesia yang mengatur hal ini.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Pada dasarnya masalah yang dihadapi oleh pengungsi adalah masalah kemanusiaan,
sehingga penanganannya dilakukan dengan sejauh mungkin menghindarkan terganggunya
hubungan baik antara Indonesia dan negara asal pengungsi itu. Indonesia memberikan kerja
samanya kepada badan yang berwenang dalam upaya mencari penyelesaian masalah
pengungsi itu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Koordinasi yang pelaksanaannya menjadi tugas Departemen Luar Negeri merupakan
sarana untuk menjamin kesatuan sikap dan tindak dalam penyelenggaraan hubungan luar
negeri dan pelaksanaan politik luar negeri.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
"Hak keuangan dan administratif" yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah hak pensiun
sebagai pejabat negara bagi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh yang telah
menyelesaikan tugasnya, termasuk janda, duda, dan anaknya.
Pasal 30
Ayat (1)
Merupakan praktek yang dianut oleh banyak negara untuk mengangkat seseorang dengan
gelar Duta Besar guna menangani masalah tertentu dalam hubungan luar negeri.
Pengangkatan pejabat setingkat Duta Besar yang antara lain Duta Besar Keliling dilakukan
karena sangat pentingnya masalah yang bersangkutan. Gelar Duta Besar itu diberikan untuk
memudahkan hubungan yang bersangkutan dengan pihak-pihak di negara lain atau di
organisasi internasional pada tingkat yang setinggi mungkin. "Bidang khusus" sebagaimana
dimaksud dalam ayat ini menyangkut antara lain bidang Kelautan, Gerakan Non Blok (GNB),
dan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC).
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Pejabat Dinas Luar Negeri diberi status "Pejabat Fungsional" dan disebut "Pejabat
Fungsional Diplomat" sebagai pengakuan atas pengetahuan dan kemampuan khusus yang
mereka miliki di bidang diplomasi. Diplomasi sebagai cabang profesi mempunyai sifat
khusus yang memerlukan pengetahuan dan pengalaman khusus pula, terutama yang
menyangkut hubungan luar negeri.
Ayat (2)
Jika diperlukan, maka Pejabat Fungsional Diplomat dapat memegang jabatan struktural,
baik di Pusat maupun di Perwakilan Republik Indonesia, tanpa menanggalkan status dan
hak-haknya sebagai Pejabat Fungsional Diplomat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 33
Sesuai ketentuan Kongres Wina, 1815, Kongres Aken, 1818, Konvensi Wina mengenai Hubungan
Diplomatik, 1961, dan praktek internasional, jenjang kepangkatan dan gelar diplomatik tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Duta Besar;
2. Minister;
3. Minister Counsellor;
4. Counsellor;
5. Sekretaris Pertama;
6. Sekretaris Kedua;
7. Sekretaris Ketiga;
8. Atase. Jenjang kepangkatan dan gelar diplomatik, termasuk penggunaan gelar Duta Besar
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Surat Kepercayaan (credentials) untuk menghadiri peristiwa tertentu di luar negeri seperti
upacara-upacara kenegaraan, pelantikan Kepala Negara, upacara pemakaman, dan lain-lain
ditandatangani oleh Presiden.
Ayat (2)
Ketentuan ayat ini sesuai dengan praktek internasional dimana Surat Kepercayaan
ditandatangani oleh Menteri.
Pasal 37
Ayat (1)
Surat Tauliah, yang dalam bahasa asing disebut letter of commission, adalah surat yang
menetapkan gelar dan wilayah kerja seorang konsul, yang dikeluarkan oleh pemerintah
negara yang mengangkatnya dan disampaikan kepada pemerintah negara tempat konsul itu
bertugas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3882
KOMENTAR:
Posting Komentar
Sampaikan ke sobat lain bila bermanfaat, sampaikan ke saya bila tidak berkenan.Terima kasih sudah berkunjung dan memberi komentar.
NB. Bila ingin menempatkan smiley/emotion pada komentar silahkan ketik kode smiley.contoh (komentar anda :10 atau :14